Jurnalis Aljazeera Kuala Lumpur, Hardjito Warno, terbang ke Jakarta untuk ikut memberikan solidaritas terhadap pemblokiran sejumlah situs Islam di Indonesia.
Hardjito memompa semangat awak media Islam yang dibredel secara sepihak oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) atas permintaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Pendiri Jurnalis Islam Bersatu (JITU) itu juga akan ikut mengawal media Islam agar Kemkominfo diseret ke meja pengadilan. “Seret penguasa zalim itu di meja pengadilan, mereka selalu katakan agar rakyat taat hukum, tapi mereka sendiri langgar UU yang mereka buat sendiri,” ujarnya kepada Islampos, Jum’at (3/4/2015).
UU No 40 tentang Pers tahun 1999 pasal 4 ayat 2 tertulis: Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.

“Sangat jelas di undang-undang itu, tidak ada lagi pembredelan. Jangan kotori era kebebasan ini dengan blokir media, hargailah Pak Habibie yang telah lahirkan UU itu, bahkan tapol pun dibebaskan waktu itu,” kata jurnalis yang selalu menggunakan peci di Istana Negara era Presiden Habibie.
Ia juga mengenang bahwa Presiden Habibie lah yang membuka keran demokrasi di negeri ini setelah Orde Baru, 16 tahun lalu.
Kala itu, kenang Hardjito, pers seperti bunga yang tumbuh di musim semi, bermunculan di sana sini. Tak seperti di era Orba di mana seleksi untuk lolos akreditasi jurnalis Istana begitu ketat dan sulit.
“Tapi tidak di zaman Pak Habibie. Bahkan tercatat lebih dari 300 jurnalis yang diberikan akreditasi meliput acara kenegaraan di Istana Negara.”
“Kini bunga-bunga pers yang tumbuh bersemi mengawal kebesaran negeri ini harus mati oleh sepatu laras Kemkominfo dengan dibredelnya 22 Media Islam bulan lalu,” tutup Hardjito.
- See more at: http://www.arrahmah.com/news/2015/04/03/jurnalis-al-jazeera-seret-kemkominfo-ke-pengadilan.html#sthash.DO8DC3sd.dpuf

0 Comments:

Post a Comment